“Aku suka hujan,” ujarku sambil
menatap langit. Butiran air, tak terhitung jumlahnya, tumpah ruah menghujam
bumi. Tanpa menoleh sekalipun, aku bisa merasakan sosok di sebelahku sedang
menatapku sambil mengerutkan dahinya.
“Kenapa?”
Ah, pertanyaan bagus.
“Kenapa...?” gumamku “Mungkin
karena... walaupun hujan tampak seperti tangis, seperti duka, luka, tapi dia
sebenarnya adalah anugrah.” Aku menghela napas pelan.
“Hujan membawa kesejukan,
kesuburan, sesuatu yang nggak bakal terjadi kalau langit cerah terus.”
“Tapi kalau hujan terus, ya
lama-lama banjir kan?” sanggahnya.
“Memang,” jawabku sambil mengulum
senyum “Itulah sebabnya kita nggak bisa bilang kalau hujan itu sedih, boring,
gloomy, sementara cerah itu happy.”
Kali ini, ia memalingkan wajahnya
dariku.
“It is all balanced. Kita
gak cuma butuh hari cerah aja, hujan juga. The same goes to life. Kadang
kita butuh menangis supaya sadar nikmatnya tertawa. Sebaliknya, kadang kita
juga butuh tertawa supaya ingat bahwa hidup itu isinya nggak cuma nangis aja.”
Aku lalu tertawa. Memangnya apa
yang lucu? Entahlah, tapi dia ikut tertawa bersamaku.
“Ya elah omonganmu, kayak telur
dadar aja. Dibolak-balik.”
Kali ini aku tertawa lebih keras.
“Hidup kita ini juga kayak telur
dadar, dibolak-balik sama nasib.” sahutku puas.
Sesaat, tidak ada respon apapun.
Tampaknya dia juga puas dengan jawabanku.