Thursday, October 4, 2012

Intermezzo


“Aku suka hujan,” ujarku sambil menatap langit. Butiran air, tak terhitung jumlahnya, tumpah ruah menghujam bumi. Tanpa menoleh sekalipun, aku bisa merasakan sosok di sebelahku sedang menatapku sambil mengerutkan dahinya.
“Kenapa?”
Ah, pertanyaan bagus.
“Kenapa...?” gumamku “Mungkin karena... walaupun hujan tampak seperti tangis, seperti duka, luka, tapi dia sebenarnya adalah anugrah.” Aku menghela napas pelan.
“Hujan membawa kesejukan, kesuburan, sesuatu yang nggak bakal terjadi kalau langit cerah terus.”
“Tapi kalau hujan terus, ya lama-lama banjir kan?” sanggahnya.
“Memang,” jawabku sambil mengulum senyum “Itulah sebabnya kita nggak bisa bilang kalau hujan itu sedih, boring, gloomy, sementara cerah itu happy.
Kali ini, ia memalingkan wajahnya dariku.
It is all balanced. Kita gak cuma butuh hari cerah aja, hujan juga. The same goes to life. Kadang kita butuh menangis supaya sadar nikmatnya tertawa. Sebaliknya, kadang kita juga butuh tertawa supaya ingat bahwa hidup itu isinya nggak cuma nangis aja.”
Aku lalu tertawa. Memangnya apa yang lucu? Entahlah, tapi dia ikut tertawa bersamaku.
“Ya elah omonganmu, kayak telur dadar aja. Dibolak-balik.”
Kali ini aku tertawa lebih keras.
“Hidup kita ini juga kayak telur dadar, dibolak-balik sama nasib.” sahutku puas.
Sesaat, tidak ada respon apapun. Tampaknya dia juga puas dengan jawabanku.